Romusa, Pergi Menjemput Mati
Jika orang Indonesia diminta untuk mengatakan satu faktor yang menjadi pengalaman paling mengerikan selama pendudukan Jepang, mungkin dia akan menjawab ROMUSA. Kata Jepang Romusa yang hebat ini secara harfiah berarti seorang yang melakukan pekerjaan sebagai buruh kasar. Akan tetapi, dalam konteks sejarah Indonesia istilah ini mempunyai pengertian khusus yang mengingatkan rakyat akan pengalaman yang sangat pahit di bawah pemerintahan militer Jepang yang kejam.
Bagi seorang Indonesia, romusa berarti seorang buruh kuli yang dimobilisasikan bagi pekerjaan kasar dibawah kekuasaan Jepang. Mereka pada umumnya petani biasa, yang di luar kehendak mereka, diperintahkan supaya bekerja pada proyek-proyek pembangunan dan pabrik. Jutaan orangJawa dimobilisasikan dengan cara ini dan tidak sedikit diantaranya yang dikirim ke luar negeri. Banyak diantaranya meninggal karena kerja keras dan kondisi kesehatan yang sangat buruk. Banyak yang lainnya, yang cukup beruntung bertahan hidup, menderita akibat penyakit, kekurangan gizi, dan luka-luka. Keluarga mereka, yang mencari nafkahnya dibawa pergi, menderita akibat kemiskinan, dan tanah pertanian sering dibiarkan tak ditanami karena langkanya tenaga kerja. Akhirnya, hal ini yang menyebabkan situasi rendahnya produktifitas pertanian.
Salah satu tujuan pokok pendudukan Jepang di Asia Tenggara adalah untuk memperoleh sumber-sumber ekonomi dan untuk menciptakan suatu landasan pokok ekonomi yang penting demi kelangsungan perang di sana. Untuk mewujudkan tujuannya itu, Jepang menganggap tenaga kerja di Jawa yang berlebihan karena Jawa adalah pulau paling padat penduduknya sebagai sumber daya terpenting di Asia Tenggara. Sejak awal peperangan meletus, penguasa Jepang telah bersungguh-sungguh memobilisasi efektif atas tenaga kerja di Jawa dan memasoknya ke seluruh wilayah Selatan. Pada bulan November 1942, perjanjian ditanda tangani di Singapura antara Kepala Staf A.L. Barat Daya dan Kepala Staf A.D. Tentara Selatan yang menyangkut pertukaran komoditi dan bahan-bahan. “Tenaga Kerja” pun menjadi komoditi yang dipertukarkan.
Kemanakah para romusa dipekerjakan? berdasarkan kesaksian, romusa dipaksa bekerja tidak hanya didaerah yang berdekatan, tetapi diangkut kemanapun kalau terdapat tuntutan akan tenaga kerja oleh pihak Jepang.
Di Pulau Jawa, Banten merupakan daerah utama penerima romusa, Diantara 17 keresidenan dan 2 kerajaan di Jawa, Banten memiliki kepadatan penduduk yang paling rendah, hanya 129,33 orang/km persegi, sementara rata-rata di Jawa 315,33 orang/km persegi. Para tenaga kerja romusa diperkerjakan pada pembangunan jalur kereta api sepanjang 150 km antara Saketi- Bayah. Jalur ini yang menghubungkan jalur kereta api yang ada antara Labuan dan Jakarta dengan wilayah patai selatan keresidenan dimana terdapat deposit tambang.
Disamping mereka yang dikirim ke Banten, banyak diantaranya yang dikirim ke luar Jawa. Mereka di angkut hampir semua bagian Asia Tenggara dan beberapa bagian wilayah pasifik selatan, tempat dilaksanakannya proyek-proyek strategis. Salah satu proyek besar di Asia Tenggara yang melibatkan Romusa Jawa adalah pembangunan jalan kereta api Burma-Siam yang dimulai bulan Juli 1942 dan berakhir bulan Oktober 1943.
Sebuah usaha yang penting lain untuk memberikan gambaran “mulia” bagi romusa adalah kampanye mengirim Soekarno dan pemimpin terkemuka lainnya selama seminggu sebagai romusa. Kampanye tersebut pertama kali dijalankan pada September 1944 dengan sponsor
Jawa Hokokai melalui slogan
“Pekan Perjuangan Mati-Matian”. Sebelum kampanye dimulai, media masa mengumumkan bahwa Soekarno akan menjadi romusa, setiap orang yang ingin bergabung dengan pelayanan tenaga kerja ini bersama para pemimpin
Hokokai harus mengirim lamaran. Himbauan tersebut dilakukan berulang-ulang, dan sekitar 500 orang menanggapinya. Diantaranya Mr. Sartono, Asikin Natanegara, Ir. Sukiman, Mr. Moh Roem, Mr. Rauf Thayeb, Muhidin, dan Suratno.
Menjelang keberangkatan, Soekarno berpidato dan menjelaskan bahwa tujuan usaha ini ialah untuk menunjukan kepada Jepang bahwa penduduk Jawa telah siap sehidup semati dengan Dai Nippon. Dia berjanji bahwa dia dan rekan-rekannya dalam rombongan tersebut tidak akan bercukur selama pengabdian mereka sebagai romusa sebagai tanda bukti kepada negara.
Pidato Soekarno itu singkat, padat , namun memikat. Dalam propagandanya didepan corong radio Soekarno berseru :
“Saya seorang Insinyur! Tapi saya, tidak dapat berbuat apa-apa dengan titel saya itu, kalau pekerjaannya tidak ada.”
Soekarno Menjadi Romusa
Hampir setiap hari selama kampanye, media massa selalu melaporkan kegiatan delegasi romusa “terpelajar” ini dengan berita utama. Foto-foto Soekarno yang sedang melakukan pekerjaan kasar berkali-kali muncul di koran dan majalah, dengan pemberitaan bahwa dia tinggal di pondok sederhana dan makan makanan seadanya seperti beras, sayuran dan ikan asin. Dia mengenakan celana pendek dan pita lengan dengan nomor romusa 970, persis seperti romusa biasa. Juga diperlihatkan saat dia mengangkat karung pasir yang digunakan dalam pekerjaan pembangunan. Ketika rombongan kembali ke Statsiun Tanah Abang di Jakarta pada tanggal 10 September 1944, setelah seminggu bekerja, koran-koran kembali melaporkan peristiwa tersebut dengan pemberitaan besar-besaran. Setelah rombongan pertama dipimpin Soekarno kembali ke Jakarta, rombongan kedua diorganisir dibawah prakarsa Otto Iskandardinata. Kelompok ini berangkat pada akhir bulan Oktober 1944, berjumlah 622 romusa terpelajar. Asia Raya 23 Oktober 1944 memberitakan, ada sedikit tenggang waktu antara rombongan pertama dengan kedua untuk menghindari bulan puasa.
Setelah rombongan kedua ini menjalankan tugasnya, romusa terpelajar berskala nasional yang di sponsori oleh Jawa Hokokai tidak lagi diselenggarakan. Meskipun demikian, usaha-usaha serupa tetap dilakukan pada tingkat daerah.
—————-
romusa yang selamat
Romusa merupakan luka sejarah yang digoreskan fasis Jepang yang hingga kini masih membekas– khususnya bagi orang-orang yang menjadi romusa “sejati” bukan romusa “terpelajar” atawa romusa “propaganda”, bahkan mungkin bagi keturunannya. Sebagai konsekuensi dari masa pendudukan, lantas perlukah kita bertanya: siapa yang bertanggung jawab dan menyukseskan program romusa ini? Haruskah beban itu ditimpakan kepada Soekarno? bukankah para pemimpin nasional lainnya dan para “terpelajar” juga menyukseskan romusa. Pada posisi ini, Soekarno memang memiliki beban moril yang cukup berat dibanding tokoh-tokoh nasional lainnya. Pasalnya, dialah tokoh tertinggi yang notabene bekerja sama dengan Jepang melakukan kampanye propaganda dalam romusa ini.
Pada akhirnya Soekarno mengakui bahwa dirinya membantu Jepang dalam pengerahan romusa. Pengakuan pahit, namun dengan jantan diungkapkannya.
“Kukatakan aku mengakui, sejumlah kenangan membuat sakit untuk ditulis. Halaman-halaman ini terasa sulit bagiku untuk menulis masa-masa itu tanpa suatu emosi. Bahkan setelah puluhan tahun berlalu, luka-luka itu masih belum sembuh sama sekali. Perbuatan-perbuatan yang harus kulakukan dan penderitaan yang harus kutahan akibat ulah sekelompok pemuda yang tidak mau mengerti, adalah bekas-bekas luka yang akan kubawa sampai ke liang kubur”.
Ribuan orang tak kembali. Mereka gugur di negeri asing– dan negerinya sendiri. Seringkali para romusa itu diperlakukan kejam, seperti di belenggu berdampingan dengan tahanan perang untuk membuat jalan Birma yang terkenal itu. Soekarno mengakui bahwa dia mengetahui keadaan mereka. Mereka diangkut dengan gerbong-gerbong kereta api yang tertutup rapat tanpa udara, dan ribuan dijejalkan sekaligus. Mereka tinggal kulit pembalut tulang. Dan Soekarno tidak bisa menolong mereka. Dalam kenyataannya, Soekarno yang mengirim mereka pergi kerja. Soekarno mengirim mereka berlayar menuju kematian. Soekarno membuat pernyataan-pernyataan untuk mendukung pengerahan romusa. Soekarno diambil gambarnya di dekat Bogor dengan Caping di kepala dan cangkul di tangan untuk menunjukan betapa mudah dan mulianya menjadi seorang romusa. Soekarnolah yang memberikan mereka kepada orang Jepang. Rasanya mengerikan sekali.